PELANGI DI TENGAH BADAI 2

Hal yang membuat saya sangat sedih waktu itu adalah 4 anak saya sedang kuliah 1 di Universitas Advent Indonesia, 3 di Medan mereka butuh biaya yang besar, sementara saya tidak bisa lagi berjualan setiap hari karena harus merawat anak saya yang keempat. Saya pun mengalami kesulitan keuangan yang berat, karena untuk berobat saja biayanya sangat besar ditambah lagi biaya kuliah. 
Saya bersyukur anak-anak saya mengerti situasi saat itu. Akhirnya saya pun berhutang untuk menutupi semua kebutuhan baik pengobatan dan uang kuliah, dan tanpa saya duga hutang saya sudah sangat banyak hitungan puluhan juta rupiah. Pengalaman menyekolahkan anak adalah pengalaman yang penuh perjuangan dan pengorbanan.
Walaupun dalam situasi kesulitan itu saya tetap bersyukur kepada Tuhan. Walaupun mengalami kesulitan keuangan namun saya tidak pernah lupa untuk mengembalikan persepuluhan. Setiap hari setelah jualan saya langsung asingkan 10 % milik Tuhan ke dalam amplop khusus. Mengembalikan persepuluhan sudah mendarah daging bagi saya sejak lama, jadi walaupun dalam kesulitan keuangan seperti apapun persepuluhan itu tidak pernah saya lupakan, sama halnya dengan hari Sabat walau saya sangat menderita, penuh tekanan hidup saya setia datang ke Gereja.

Tantangan hidup masih terus berlanjut yaitu adik saya mengalami sakit yang parah, pada waktu dia sakit suaminya pergi tinggalkan dia, akhirnya saya mengambil dan membawanya berobat ke-Barus ke tanah kelahiran suami. Hampir setiap Minggu saya harus bolak-balik dari si borong-borong ke-Barus selama beberapa bulan lamanya. Saat yang sama saya harus mengurusi anak saya yang juga sakit, jadi saya harus mengurusi 2 orang sakit sekaligus. Namun Tuhan berkehendak lain adik saya pun menghembuskan nafasnya yang terakhir dan saya bawa pulang ke Si borong-borong. Semua mulai dari sakit sampai meninggal saya urusi sendiri, dan yang luar biasanya saya tidak pernah patah semangat saya tetap sehat walau jarang istirahat siang ataupun malam.
Beberapa bulan setelah adik saya meninggal, sementara duka cita saya belum berakhir kembali ujian datang ke dalam hidup saya yaitu anak ku yang ketiga Adi meninggal dunia karena sebuah kecelakaan. Pada waktu itu dia sedang pergi ke Aceh bersama teman-temannya untuk mengantarkan bantuan Gempa Tsunami yang terjadi akhir Desember 2004 yang lalu. Peristiwa kecelakaan itu terjadi sekitar pertengahan Mei 2005 di daerah Sumbul Sidikalang.
Sebenarnya anak saya ini hampir menyelesaikan Kuliahnya di Universitas Negeri Medan, dan 3 bulan lagi akan wisuda. Dia ke sana sebetulnya hanya ingin mendapatkan uang tambahan untuk biaya hidupnya di Medan, karena saya belum bisa kirim uang karena memang uang tidak ada. Sebelumnya sudah banyak datang lamaran pekerjaan buat dia dengan catatan dia harus tamat dulu dan dia mengatakan kepada saya,” ibu jangan sedih sebentar lagi saya akan tamat dan bekerja, saya akan turut meringankan beban ibu setiap bulan saya akan kirimkan Rp.500.000 untuk ibu, “ demikian ia memberi pengharapan kepada saya.
Namun Nahas, semua impiannya itu direnggut oleh kematian yang tiba-tiba.
Berita kematian itu datang saat saya sedang berjualan di Sipahutar. Seperti petir di bolong menyengat sekujur tubuh saya, saya pun jatuh pingsan tidak sadarkan diri. Namun peristiwa kali ini membuat saya lebih pasrah dalam menjalani kehidupan ini. Saya tidak lagi berteriak menangis seperti sebelum-sebelum. Kematian anak saya ini mengajarkan kepada saya akan makna hidup yang sesungguhnya, bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, dan saat itu saya semakin berserah kepada Tuhan, kemudian saya katakan kepada Tuhan,”Tuhan anak itu adalah milik-Mu, jikalau Engkau mau mengambilnya.. ambillah, dan jikalau Engkau pun mengambil hidupku saat ini saya bersedia, namun biarlah kehendak-Mu yang jadi....”
Kepergian anakku itu semakin menguatkan iman kami di dalam keluarga untuk tetap setia dan bersandar kepada Yesus apapun masalah yang menimpa kita. Salah satu hal yang mengherankan ketika pemakaman anakku itu adalah hujan turun hanya di sekitar tempat pemakaman itu saja dan setelah pemakaman itu hujan berhenti. Saya percaya bahwa itu adalah pertanda bahwa Tuhan akan mencurahkan berkat kepada kami. Dan kami selalu mengingat kalimat terakhir suami saya sebelum meninggal dia katakan, “Sampai bertemu di surga pada waktu Yesus datang.” Kata-kata itu menjadi penghiburan buat kami semua karena kami percaya bila Yesus datang kami akan bertemu kembali dengan suami/ayah dan anakku.
Setelah anakku dimakamkan untuk beberapa saat lamanya saya menangis mengenang semua kebaikannya, keramahannya. Satu hal yang saya tidak pernah lupakan dari dia adalah lawak-lawaknya yang selalu membuat saya tertawa, apalagi kalau saya lagi sedih karena banyak masalah dia selalu ada menghibur saya dengan humor-humornya(turi-turian) yang sangat lucu.

Satu hal yang saya syukuri adalah kebaikan Tuhan kepada saya yang telah menolong saya menghadapi sulitnya hidup. Selama kurang lebih 12 tahun lamanya topan dan badai itu datang menerpa kehidupan saya silih berganti. Selama 12 tahun ini dimulai dari tahun 1993-2005 Tuhan membentuk saya lewat berbagai macam pencobaan/penderitaan hidup.
Namun sejak tahun 2006 saya merasa bahwa badai sudah mulai berlalu, walau masih ada beberapa beban hidup yang lain yang menekan, namun bagi saya itu tidak terlalu berarti lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya percaya badai kehidupan tidak akan pernah berhenti selagi kita masih hidup di dunia ini, dan bagi saya apapun yang terjadi saya siap untuk menghadapinya, termasuk hal terburuk dalam kehidupan saya, kapan saja, di mana saja.
Setelah melewati masa-masa sulit saat ini saya berbahagia dan bersyukur kepada Tuhan atas berkatnya, anak-anak saya sudah dewasa semuanya. Anak pertama saat ini sudah menjadi PNS di Kerinci dan sudah menikah dan dikaruniai 1 orang putri, anak ke-2 sudah menjadi seorang pendeta yang saat ini melayani di Kudus Jawa Tengah, putri saya Poibe sudah menikah dengan seorang pendeta Edward Purba, saat ini mereka melayani di Pulau Samosir, Juanda sudah selesai kuliah dari Medan yang saat ini membuka Usaha sendiri di Medan dan yang paling kecil Siti Purnama Sari sedang kuliah perawat di Perguruan Tinggi kita di Siantar baru semester dua. Hutang yang puluhan juta rupiah pun sudah bisa saya lunasi.
Saya merasa semua kerja keras saya selama ini sudah terbayarkan. Namun satu lagi beban yang sampai saat ini masih menggangggu pikiran saya adalah anakku yang ke-4 Hotma yang dulu pernah mati suri sampai saat ini masih kurang sehat dan harus berobat terus. Sudah berobat ke mana-mana tetapi belum ada perubahan hingga saat ini. Tetapi dalam hal ini pun saya bersyukur, saya ingat Rasul Paulus di mana ada duri dalam dagingnya, namun Tuhan mengatakan kepadanya,”Cukuplah kasih karuniaku bagimu.”
Satu hal lagi yang saya syukuri adalah saat ini semua tetangga-tetangga yang dulu memusuhi saya, mengolok-olok saya, mengejek-ejek saya, sekarang mereka telah sadar. Gantinya mereka mengolok-olok sekarang mereka yang datang menyembah saya (hanya Tuhan yang patut disembah), memohon bantuan saya dan memberikannya kepada mereka semampu saya. Dan saat ini saya juga pedagang pisang mentah di Si borong-borong, dan boleh dikatakan bahwa hanya saya yang menjual pisang goreng dalam jumlah yang besar dan semua orang yang memusuhi saya datang membeli, saya melayani mereka karena tidak ada rasa dendam dalam hidup saya. Memang benar apa yang dikatakan Yesus bahwa kita harus mendoakan musuh-musuh kita dan berbuat baik kepada mereka.

Sekarang sudah lebih kurang 15 tahun berlalu, setelah saya lalui semuanya, baru saya dapat melihat dengan jelas rencana Tuhan dalam kehidupan kami. Saat ini setiap orang memuji-muji saya, mereka mengatakan,”kamu hebat sekali...bagaimana kamu bisa melewatinya dan menyekolahkan anakmu hingga sarjana”. Saya katakan bahwa ,”yang hebat itu Tuhan Yesus.” Foto-foto anak-anak saya berpakaian toga sarjana terpampang di dinding rumah kami dan setiap orang yang datang ke rumah selalu memuji saya dengan banyak pujian, namun saya tidak sombong karena semua itu tidak ada gunanya kalau anak saya jauh dari Tuhan, dan itu adalah karunia dari Tuhan semata. Kebanggaan saya bukanlah karena anak saya sarjana, kebanggaan saya adalah bila anak-anak saya selalu setia kepada Tuhan dan peduli kepada sesama. Dan itulah yang selalu saya ajarkan kepada anak-anak saya yaitu Burju mangoloi Tuhani. Akhirnya hanya satu kata yang bisa saya ucapkan, “Allah itu sungguh amat sangat baik, terima kasih Tuhan atas semua kebaikan-Mu..terimakasih atas semua kesusahan yang mengajarkan saya akan makna kehidupan.”
Kesimpulan kesaksian saya ini adalah 1. hadapilah setiap tantangan hidup dengan bersandar kepada Tuhan. Roma 8:28 mengatakan bahwa, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.”
2. Jangan pernah mengeluh, bersungut-sungut apalagi sampai mengutuki Tuhan.
Berikutnya 3. setialah mengembalikan milik Tuhan yaitu persepuluhan walau kita mengalami kesulitan keuangan sekalipun dan jujurlah mengembalikannya. 4. Setialah memelihara hari Sabat walau banyak persoalan menimpa kita, karena Tuhan memiliki janji kepada orang yang setia akan hari Sabat. 5. Bersyukurlah dalam segala situasi dan Puji Tuhan dalam kesulitanmu. 6. Bernyanyilah selalu baik saat susah atau senang.
Dan yang terakhir 7. jangan membenci siapa pun termasuk orang yang berbuat jahat kepada kita.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Sering di baca