PELANGI DI TENGAH BADAI 1

Kesaksian Hidup Kel. O. Panjaitan 
Di ceritakan oleh Ibu Panjaitan

 Nama saya J.Br.Nababan, saya memiliki 7 orang anak, empat putra dan tiga putri. Kami sekeluarga tingga di kota kecil Siborong-borong. Suami saya telah meninggal karena sakit pada tanggal 29 april 1993. Semasih hidup suami saya adalah anggota jemaat yang sangat setia. Kesetiaan ditunjukkan dalam 2 hal yaitu setia memelihara Sabat dan setia serta jujur dalam perpuluhan, kedua hal itu merupakan darah daging kami dalam keluarga hingga saat ini.
Semasih hidup suami saya adalah pekerja keras sehingga dia bisa membangun sebuah rumah yang sederhana untuk kami tempati. Keramahan kepada setiap orang sangat luar biasa. Menjamu tamu atau orang yang datang ke rumah adalah kegemarannya, terutama menjamu para pendeta atau hamba-hamba Tuhan.
Semasih hidup dia punya angan-angan atau cita-cita yang besar buat keluarga terutama untuk anak-anaknya. Namun semua cita-cita dan harapan itu dia tidak dapat melihatnya. Sepeninggal suami segalanya berubah, rasanya hidup itu hampa dan seperti hilang semangat dan pengharapan. Hidup saat itu rasanya semakin sulit saja. 

Pada waktu suami saya meninggal orang-orang di kampung mengatakan, “Lihat bapanya sudah mati..anak-anaknya tidak akan bisa sekolah lagi..” itu adalah perkataan orang-orang yang iri melihat keluarga kami. Setelah suami saya meninggal tiga bulan lamanya saya hanya duduk termenung dalam duka cita yang sangat dalam, jarang makan dan minum namun puji Tuhan saya tidak merasa sakit. Anak-anak saya memberikan penghiburan kepada saya. Dalam duka yang panjang itu saya mengingat kisah Ayub dalam alkitab di mana semua anak dan hartanya habis lalu dia sendiri mengalami sakit.  Kisah Ayub ini memberikan semangat dan pengharapan kepada saya untuk bangkit kembali.

Pada saat itu saya baru benar-benar menyadari kalau saya telah menjadi seorang janda yang harus menghidupi tujuh orang anak yang sedang mulai bertumbuh. Anak saya yang pertama Ridwan kelas 1 sma di SLA martoba, ke-2 Deddy kelas 2 SMP, Ke-3 Adi kelas 6 SD, ke-4 Hotma kelas 5 SD, ke-5 Juanda kelas 3 SD, ke-6 Poibe kelas 1 SD dan Siti umur 3 tahun.
Pekerjaan saya saat itu hanya berjualan mie sop dan mi gomak makanan khas orang Batak. Ketika suami masih hidup, dialah yang berjualan setiap hari pakai gerobak dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun setelah meninggal saya harus berjualan sendiri dan memikul beban itu sendirian. Setiap hari saya berjualan dari kota – ke kota tanpa ada hari istirahat kecuali hari Sabat. Dimulai hari Minggu pergi ke Siantar mencari pisang buat dijual, senin berjualan ke Sipahutar, selasa di Siborong - borong, Rabu ke Pangaribuan, Kamis persiapan di rumah, Jumat ke Dolok sanggul. 

Setiap hari saya harus bangun jam 4 pagi dan kalau malam saya harus pulang jam 8 atau jam 9 malam bahkan kadang-kadang pulang jam 10 malam, rasanya sangat melelahkan namun semuanya saya lakukan dengan sukacita. Dengan demikian sepanjang Minggu tidak ada waktu untuk santai dan bersenang-senang kecuali hari Sabat. Hari Sabat pun tidak serta merta dapat beristirahat total sebab setiap Sabat saya bersama beberapa anggota jemaat pergi melayani ke penjara habis kebaktian dan kami membawa makanan untuk sekitar 20-30 orang dan yang memasak selalu bagian saya tetapi saya lakukan dengan senang hati walaupun sudah lelah sepanjang Minggu.
Sejak suami saya meninggal tantangan demi tantangan pun mulai datang bertubi-tubi. Pertama datang dari para tetangga sekitar. Setiap hari mereka hanya bisa membicarakan saya, menggosipi, menjelek – jelekkan. Bahkan gosip yang sangat menyakitkan saya adalah katanya saya punya anak dari laki-laki lain dan gosip itu terdengar sampai ke Jawa ini. Saya memang tidak ada waktu buat ngrumpi seperti mereka, karena saya sibuk mencari nafkah. Saya tidak habis pikir mengapa mereka iri melihat saya padahal saya tidak pernah menyakiti siapa pun di kampung itu. Apa karena saya bisa menyekolahkan anak-anak saya seorang diri? Entahlah..” kalau saya sudah pulang dari berjualan mereka akan mencibir saya,” Lihat si babi jalang itu sudah pulang...”masih banyak kata-kata yang menyakitkan yang lain. Namun saya tidak pernah membalasnya, saya berdoa kepada Tuhan untuk memberi saya kekuatan menghadapinya dan berdoa supaya Tuhan mengampuni dan mengubah hidup mereka. Selama bertahun-tahun saya mengalaminya.
 
Suatu kali saya dapat rezeki lalu saya membeli mobil pick up tua untuk kendaraan berjualan, karena mengingat saat itu transportasi sangat sulit. Setelah mobil tua itu saya beli, tetangga-tetangga itu semakin iri melihat saya, saking irinya mobil itu tidak boleh berjalan melewati halaman rumah mereka bahkan untuk parkir pun tidak diizinkan di halaman rumah sendiri, katanya kalau diparkir di situ akan dibakar. Akhirnya mobil kami parkir di pinggir jalan sekitar 20 meter dari rumah dan tiap malam anak saya Juanda tidur menjaga mobil itu. Benar-benar mereka tidak ingin melihat kami maju.
Tantangan yang lain adalah tidak berapa lama setelah suami saya meninggal saya bersama anak saya yang masih kecil sakit berhari-hari. Dalam situasi sakit itu saya sangat sedih karena tidak ada orang yang dapat menolong saya. Saya bertanya kepada Tuhan,” Apa yang Engkau inginkan kepada saya?suami saya sudah meninggal mengapa saya dan anak saya sakit?” saat itu saya merasa Tuhan itu kejam, tapi kemudian saya sadar dan mengingat kisah Ayub dan mengatakan, “kalau Engkau mau mengambil saya dan anakku ambillah Tuhan karena semua itu milikmu.”

Beberapa hari kemudian saya dan anak saya sembuh dan bisa bekerja seperti biasa. Saya berpikir tantangan sudah berakhir ternyata masih ada lagi. Anak saya yang paling besar sakit keras, karena sakitnya sampai2 dia seperti orang gila. Kembali saya bertanya kepada Tuhan,” Apalagi yang Engkau kehendaki Tuhan!” namun dari situ saya mulai belajar untuk berserah/pasrah terhadap apapun yang terjadi. Saya harus membagi waktu antara berjualan dan merawat anak saya. Sungguh sangat sulit waktu itu bahkan tidur pun sangat sedikit. Puji Tuhan anak saya itu pun sembuh 
 
Tantangan selanjutnya adalah dua anak saya sakit sekaligus yaitu anak yang kelima dan keenam, tapi puji Tuhan mereka pun sembuh.
Berikutnya yang paling berat dan paling menekan adalah ketika anak perempuan saya yang ke-4 sakit keras lalu dibawa ke rumah sakit Tarutung, beberapa hari di sana bukanya sembuh tapi semakin parah, dokter datang mengatakan bahwa anak saya itu telah meninggal dan sudah ditutupi kain kafan lalu disuruh membawa pulang. Saya pun menangis dan berteriak bahwa anak saya itu tidak mati. 

Dalam kesedihan yang amat sangat dalam itu (susah menggambarkan situasi saat itu) saya benar-benar hampir putus asa, namun mukjizat terjadi saat itu, anak saya tiba-tiba hidup lagi dan bernafas namun sewaktu dia hidup lagi ingatannya hilang tidak tahu apa-apa seperti seorang bayi yang baru lahir. Saya sebagai ibunya pun tidak bisa dikenali lagi, angka dan huruf pun dia tidak tahu lagi...pikirannya blank (kosong). Akhirnya saya pun membawa pulang ke rumah dan merawat di rumah..Bersambung.....



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Sering di baca