Setelah berhari-hari memeriksa hati nuraninya, Ajili tak dapat lagi
terus diam saja, iapun menelepon Dr. Adely. Ia berusaha sekuat tenaga
menjaga suaranya supaya tetap tenang : “Aku ingin mengetahui keadaan
anak malang itu. Dr. Adely memberitahunya, keadaan sang anak sangat
parah. Dr. Adely menambahkan kalimat terakhirnya berkata :”Entah apa ia
dapat menunggu hari kemunculan ayah kandungnya. Kalimat terakhir ini
menyentuh hati Ajili yang paling dalam, suatu perasaan hangat sebagai
sang ayah mengalir keluar, bagaimanapun anak itu juga merupakan darah
dagingnya sendiri ! Ia pun membulatkan tekad untuk menolong Monika. Ia
telah melakukan kesalahan sekali, tak boleh kembali membiarkan dirinya
meneruskan kesalahan ini.
Malam hari itu juga, ia pun mengobarkan keberaniannya sendiri untuk
memberitahu sang istri tentang segala rahasianya. Terakhir ia berkata :
“Sangatlah
mungkin bahwa aku adalah ayah Monika Aku harus menyelamatkannya Lina sangat terkejut, marah dan terluka, mendengar semuanya, ia berteriak marah :”Kau PEMBOHONG !” Malam itu juga iamembawa ketiga anak mereka, dan lari pulang ke rumah ayah ibunya. Ketika ia memberitahu mereka tentang kisah Ajili, kemarahan kedua suami-istri tersebut dengan segera mereda. Mereka adalah dua orang tua yang penuh pengalaman hidup, mereka menasehatinya :”Memang benar, kita patut marah terhadap segala tingkah laku Ajili di masa lalu. Tapi pernahkah kamu memikirkan, ia dapat mengulurkan dirinya untuk muncul, perlu berapa banyak keberanian besar.
mungkin bahwa aku adalah ayah Monika Aku harus menyelamatkannya Lina sangat terkejut, marah dan terluka, mendengar semuanya, ia berteriak marah :”Kau PEMBOHONG !” Malam itu juga iamembawa ketiga anak mereka, dan lari pulang ke rumah ayah ibunya. Ketika ia memberitahu mereka tentang kisah Ajili, kemarahan kedua suami-istri tersebut dengan segera mereda. Mereka adalah dua orang tua yang penuh pengalaman hidup, mereka menasehatinya :”Memang benar, kita patut marah terhadap segala tingkah laku Ajili di masa lalu. Tapi pernahkah kamu memikirkan, ia dapat mengulurkan dirinya untuk muncul, perlu berapa banyak keberanian besar.
Hal ini membuktikan bahwa hati nuraninya belum sepenuhnya terkubur.
Apakah kau mengharapkan seorang suami yang pernah melakukan kesalahan
tapi kini bersedia memperbaiki dirinya Ataukah seornag suami yang
selamanya menyimpan kebusukan ini didalamnya ?” Mendengar ini Lina
terpekur beberapa lama. Pagi-pagi di hari keuda, ia langsung kembali ke
sisi Ajili, menatap mata sang suami yang dipenuhi penderitaan, Lina
menetapkan hatinya berkata :”Ajili, pergilah menemui Dr. Adely ! Aku
akan menemanimu !”
3 Februari 2003, suami istri Ajili, menghubungi Dr. Adely. 8 Februari,
pasangan tersebut tiba di RS Elisabeth, demi untuk pemeriksaan DNA
Ajili. Hasilnya Ajili benar-benar adalah ayah Monika. Ketika Martha
mengetahui bahwa orang hitam pemerkosanya itu pada akhirnya berani
memunculkan dirinya, ia pun tak dapat menahan air matanya. Sepuluh tahun
ini ia terus memendam dendam kesumat terhadap Ajili, namun saat ini ia
hanya dipenuhi perasaan terharu. Segalanya berlangsung dalam keheningan.
Demi untuk melindungi pasangan Ajili dan pasangan Martha, pihak RS
tidak mengungkapkan dengan jelas identitas mereka semua pada media, dan
juga tak bersedia mengungkapkan keadaan sebenarnya, mereka hanya
memberitahu media bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.
Berita ini mengejutkan seluruh pemerhati berita ini. Mereka
terus-menerus menelepon, menulis surat pada Dr. Adely, memohon untuk
dapat menyampaikan kemarahan mereka pada orang hitam ini, sekaligus
penghormatan mereka padanya. Mereka berpendapat :”Barangkali ia pernah
melakukan tindak pidana, namun saat ini ia seorang pahlawan !”
10 Februari, kedua pasangan Martha dan suami memohon untuk dapat bertemu
muka langsung dengan Ajili. Awalnya Ajili tak berani untuk menemui
mereka, namun pada permohonan ketiga Martha, iapun menyetujui hal ini.
18 Februari, dalam ruang tertutup dan dirahasiakan di RS, Martha bertemu
langsung dengan Ajili.
Ajili baru saja memangkas rambutnya, saat ia melihat Martha, langkah
kakinya terasa sangatlah berat, raut wajahnya memucat. Martha dan
suaminya melangkah maju, dan mereka bersama-sama saling menjabat tangan
masing-masing, sesaat ketiga orang tersebut diam tanpa suara menahan
kepedihan, sebelum akhirnya air mata mereka bersama-sama mengalir.
Beberapa waktu kemudian, dengan suara serak Ajili berkata : “Maaf. .
.mohon maafkan aku !” Kalimat ini telah terpendam dalam hatiku selama 10
tahun. Hari ini akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengatakannya
langsung kepadamu. Martha menjawab :”Terima kasih kau dapat muncul.
Semoga Tuhan memberkati, sehingga sumsum tulang belakangmu dapat
menolong putriku”.
19 Februari, dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili.
Untungnya, sumsum tulang belakangnya sangat cocok bagi Monika Sang
dokter berkata dengan antusias : “Ini suatu keajaiban !” 22 Februari 2003, sekian lama harapan masyarakat luas akhirnya
terkabulkan. Monika menerima sumsum tulang belakang Ajili, dan pada
akhirnya Monika telah melewati masa kritis. Satu minggu kemudian, Monika
boleh keluar RS dengan sehat walafiat. Martha dan suami memaafkan Ajili
sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili dan Dr. Adely datang ke
rumah mereka untuk merayakannya. Tapi hari itu Ajili tidak hadir, ia
memohon Dr. Adely membawa suratnya bagi mereka. Dalam suratnya ia
menyatakan penyesalan dan rasa malunya berkata :”Aku tak ingin kembali
mengganggu kehidupan tenang kalian. Aku berharap Monika berbahagia
selalu hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi
kesulitan bagaimanapun, harap hubungi aku, aku akan berusaha sekuat
tenaga untuk membantu kalian”. Saat ini juga, aku sangat berterima kasih
pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam, dialah yang memberiku
kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki
kehidupan yang benar-benar bahagia di separoh usiaku selanjutnya. Ini
adalah hadiah yang ia berikan padaku ! Selesai..kembali awal
———————————————————————————————-
Note :
Seberapa beranikah kita mengakui kesalahan kita, walau dengan resiko seberat apapun.
Seberapa beranikah kita mengakui kesalahan kita, walau dengan resiko seberat apapun.
0 komentar:
Posting Komentar