Strategi sang Pantat

Kisah ini telah diceritakan turun-temurun dari sejak dahulu kala...

Alkisah suatu ketika para anggota tubuh bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin mereka.

Sang Mulut sebagaimana wataknya, memulai pembicaraan dan mengajukan diri menjadi pemimpin. Pemimpin harus pinter ngomong, katanya. Jika pendiam bagaimana mungkin program-program bisa di sosialisasikan. Sang Otak spontan protes. Otaklah yang paling pas. Konsep, strategi, dan prediksi hanya bisa dilakukan oleh otak. Berikutnya Sang Mata menukas dengan keras. Tidak bisa. Hidup ini nyata kasat mata, katanya. Hanya mata yang mampu melihat realita. Janganlah pilih pemimpin yang hanya punya angan-angan seperti otak. Dan jangan pula si jawara dunia wacana seperti mulut.

Kemudian Sang Pantat yang ada di sudut ruangan mengangkat tangan untuk minta waktu berpendapat. Belum juga angkat bicara Sang Mulut menolak. Kamu cuman pantat tidak usah mimpi jadi pemimpin. Kami tidak sudi punya pemimpin yang hina seperti kamu. Penolakan juga disampaikan oleh Sang Otak. Takdirmu hanya ngumpet dibalik celana sudahlah terima saja. Tak kalah sengit Sang Mata. Apa kata dunia jika organisasi kita dipimpin oleh pantat. Sang Pantat tidak jadi bicara.

Perdebatan semakin seru. Semua ikut bicara tak terkecuali. Hidung, telinga, tangan, kaki. Semua menginginkan jadi pemimpin. Mereka berdebat adu unggul dan saling meremehkan. Akan tetapi setiap kali Sang Pantat hendak bicara selau ditolak oleh mereka. Tak pantas, begitu kira-kira nuansanya. Dan karena merasa tidak dibutuhkan, Sang Pantat keluar ruang sidang. Tidak diketahuai pasti apa yang dilakukan di luar. Mungkin saja menangis atau justru berleha-leha menghirup udara segar. Daripada di dalam sumpek menyaksikan rekan-rekannya berdebat seperti akan saling berbunuhan.

Sejam dua jam tiga jam musyawarah tidak mencapai mufakat. Tak terasa waktu sudah hampir dini hari. Sang Otak sudah mulai lelah, Sang Mulut sudah kehabisan busa dan mulai menguap, Sang Mata pandangannya mulai kabur dan mulai keluaar air mata. Pokoknya semua lelah. Pada puncak kelelahan itu mereka baru menyadari kalau Sang Pantat tidak ada ditempat. Pada keadaan lelah mereka ingin istirahat, apalagi Sang Punggung dan Sang Kaki yang menyangga tubuh selama mereka berdebat. Pada kondisi itu yang dibutuhkan adalah Sang Pantat, untuk duduk. Mereka mencari ke sana ke mari. Di akhir keputus asaannya mereka menemukan Sang Pantat sedang duduk santai di bangku taman. Seketika mereka bergembira ria karena pada akhirnya mereka bisa duduk.

Akhirnya mereka semua sadar bahwa pemimpin yang mereka butuhkan adalah Sang Pantat. Tidak buang waktu,  musyawarah tanpa banyak debat  menetapkan Sang Pantat sebagai pemimpin.

Salam Pantat



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Sering di baca